https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgTJW-Zp8fBJURdHOGMjuHHjL0dz9-XyiuRsxs2sDxcglo5xdHjjES-lqpM2aSDbGzkKjuK2moHobyxb-m2uUp3sFVOFCamLv4OZ6a9BT7prAKvJ9_GEROqi-jA0uV_dnZ-FrWx3sGvUJJW8786ROyXg7gTFLWWDT6ERJxcURbUv5XtrgocIMrmx1k6NKg=s720

Maluku, Aktual NewsSebuah langkah maju berhasil diraih kembali oleh Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU) Maluku dalam mengadvokasi upaya-upaya pemulihan hak Abas Nurlete Dkk selaku ahli waris dari almarhum moyang Tahir Nurlette atas tanah dusun dati Tumalahu di petuanan Negeri Batumerah Kecamatan Sirimau Kota Ambon.

Setelah berhasil mengganjal rencana eksekusi sebidang tanah seluas 1.050 m2 di Jln Sultan Hasanuddin Kapaha-Bawah yang dihuni Ajun Komisari Polisi (AKP) Soleman bersama La Padu Ode Ma’ruf Dkk atas gugatan Mientje Simau beberapa waktu lalu, kini malah ada tawaran dari CGWC (Commonwealth War Graves Commission) yang bermarkas di Maidenhead Berkshire Inggris untuk membicarakan status tanah lokasi makam tentara-tentara Sekutu korban Perang Dunia ke-2 di Ambon. Dari surat Kepala Inspeksi Agraria (sekarang : Kakanwil BPN) Provinsi Maluku No. I.Agr.149/P.L/1967 tgl 11 Mei 1967 terungkap, tanah lokasi “makam” yang oleh warga lokal sering disebut “Taman Australia” di Jln Sultan Hasanuddin Kapaha-Bawah itu luasnya mencapai 98.360 m2 atau 9,83 Ha.

Kabar adanya tawaran dialoog CGWC tentang status tanah lokasi Taman Australia atau Makam Tentara-Tentara Sekutu di Ambon diperoleh media ini dari Ketua LPBHNU Maluku, Samra, yang sementara berada di Jakarta. Permintaan itu, kata Samra, disampaikan CGWC lewat e-mail, sedangkan pimpinannya yang bergelar Presiden, menurut dia, adalah Pangeran Edward (Duke of Kent atau Adipati Kent), yang juga saudara-sepupu Ratu Elizabeth.

Bermula, jelas Samra, pihaknya sengaja membangun komunikasi yang bersifat umum pada tgl 11 Oktober 2020 lalu, ternyata mendapat sambutan baik. Tetapi ketika disusul dengan menyampaikan tawaran penyelesaian atas tanah itu, dalam surat berikutnya dari Direktur Area Afrika dan Asia Pasifik, Ny Jackie Withers, CGWC mengatakan tanah itu diberikan pemerintah Indonesia tahun 1962 dengan hak selama-lamanya.

Menanggapi jawaban ini, kata Samra, LPBHNU Maluku tidak lagi mau berkomunikasi melalui e-mail melainkan langsung menyurati Pangeran Edward selaku Presiden CGWC. Surat itu dilampiri bukti-bukti tentang tanahnya meliputi Register Dati dan putusan Hakim yang sudah inkracht beserta Penetapan-Penetapan dan Berita-Berita Acara mulai Somasi sampai Eksekusi Penyerahan oleh Pengadilan Negeri Ambon, bahkan juga surat Pengadilan Negeri Ambon kepada Pemerintah RI cq Menteri Negara Agraria/Kepala BPN (sekarang : Menteri ATR/Kepala BPN) cq Kakanwil BPN Provinsi Maluku cq Kepala Kantor Pertanahan Kota Ambon berisi “peringatan agar tanah itu dikosongkan demi menghindari eksekusi paksa”. Tembusannya, tukas dia lagi, antara lain disampaikan kepada Ratu Nggris di London dan Dubes Kerajaan Inggris di Jakarta, tidak kecuali Pemerintah Indonesia termasuk Menko Polhukam, Machfoed MD dan Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi bersama Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Panglima TNI Jenderal Hadi Tjahyanto.

Di dalam suratnya itu antara lain diberikan penekanan, bahwa alasan Ny Jackie Withers, Direktur Area Afrika dan Asia Pasifik CGWC, yang mengaku tanah itu diberikan oleh pemerintah dengan hak selama-lamanya atau hak permanen (= hak milik) tahun 1962 tidak dapat dibenarkan menurut sistem hukum yang berlaku di Indonesia.

Pertama, urainya, tanah itu telah ditempati dan dikuasai sejak bulan Desember 1941 oleh tentara Australia “Batalyon Gull Force” yang dikirim ke Ambon untuk mendukung tentara Sekutu mempertahankan Lapangan Terbang (sekarang : Bandara Pattimura) di Laha dari gempuran balatentara Dai Nipon Jepang, berarti bukan baru pada tahun 1962 melainkan sudah mendahului selama 21 tahun. Kemudian, tanah itu bukan tanah negara bebas melainkan bagian tanah dusun dati Tumalahu milik almarhum moyang Tahir Nurlette sesuai bukti-bukti historis berupa Register Dati sampai putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap, sedangkan penguasaan tanah itu sejak semula tidak atas izin ahli waris yang berhak.

Kedua, tambah Samra, UU Pokok Agraria menentukan hanya warga negara Indoneia yang dapat memperoleh hak milik atas tanah, sedangkan sesuatu badan atau lembaga asing bisa diberikan hak tetapi bukan hak milik atau hak selama-lamanya seperti dimaksudkan Ny Jackie Withers, tapi hanya “hak pakai”, itu pun bergantung apakah ada perwakilannya di Indonesia.

Merujuk pada argumentasi itulah, dia lebih lanjut merekomendasikan Pangeran Edward selaku Presiden CGWC membayar tanah lokasi pemakaman yang merupakan bagian dusun dati Tumalahu itu, agar kliennya, Abas Nurlette Dkk, dapat segera menunaikan kewajiban sekaligus menikmati haknya selaku ahliwaris yang berhak. Tak lupa dalam surat itu pihaknya mengkonstatir optimisme akan adanya kesepahaman untuk penyelesaiannya, mengingat CGWC sebagai himpunan negara-negara persemakmuran yang selalu vokal menuntut pemenuhan hak-azasi manusia, lagi pula dipimpin seorang Presiden dari Bangsawan Inggris yang sudah sepuh tentu memiliki kearifan, sehingga rekomendasinya itu tidak akan diabaikan.

Kurang lebih selang sebulan setelah suratnya itu dikirim, datang sebuah pesan e-mail yang isinya menanyakan kira-kira siapa diantara Kuasa Hukum yang harus dihubungi. Penggalan “pesan e-mail” itu sebagaimana diperlihatkan Samra, berbunyi : As the attorney for the land owner of the Australian/Allied army burial ground in Ambon, we want to know who to contact to dicuss the legal status of the land, yang bila diterjemahkan secara bebas kurang lebih berarti : Sebagai Kuasa Hukum Pemilik Tanah Pemakaman Australia/Sekutu di Ambon, kami ingin tahu kira-kira siapa yang harus dihubungi untuk membicarakan status hukum tanah tersebut.

Padahal, katanya lagi, gara-gara menunggu sudah jelang sebulan belum ada kabar tentang apa respon CGWC, pihaknya sempat berpikir akan segera memasang sebuah papan tanda larangan di atas tanah itu, dengan melarang barang siapa saja memasuki tanah lokasi pemakaman itu melakukan sesuatu kegiatan.

Menanggapi pesan itu, Samra telah menugaskan Soraya Dharmawaty Francis, Praktisi Hukum yang juga salah satu Wakil Ketua LPBHNU Maluku. Penugasan Soraya ini menurut dia antara lain mengingat prosesinya tentu berlangung dalam bahasa Inggris melalui pembicaraan telepon (by phone) bahkan mungkin secara virtual, sedangkan yang terlibat nanti dari pihak CGWC adalah seorang wanita, yaitu, Ny Jackie Withers, selaku Direktur Area Afrika dan Asia Pasifik.

Dia mengaku, pemberitahuan penugasan Soraya ini akan segera disampaikan secara resmi ke London dan selanjutnya tinggal menunggu saja saatnya nanti dihubungi oleh pihak CGWC. Dia berharap, dialoog itu akan berakhir dengan sebuah kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua-belah pihak dengan catatan tidak ada yang dirugikan baik CGWC mau pun Abas Nurlette Dkk selaku ahli waris yang berhak.

Ketika penugasan ini ditanyakan langsung kepada Soraya dia mengaku sudah diterima, dan dirinya siap melakoni perannya untuk melakukan dialoog dengan pihak manajemen CGWC sesuai tugas dan wewenang yang dilimpahkan Ketua LPBHNU Maluku. Dialoog itu akan saya lakoni sesuai penugasan Ketua dengan tetap mengilhami fungsi dan peran menurut kewajiban dan tanggungjawab LPBHNU menjaga serta mengawal hak-hak dan kepentingan hukum warga nahdliyin mau pun masyarakat umum. Intinya, kepentingan CGWC kita perhatikan, akan tetapi hak hukum pak Abas dan kawan-kawan selaku ahli waris yang berhak dari almarhum Moyang Tahir Nurlete harus sepakat pula  didudukkan secara proporsional, tukas Soraya buru-buru mengakhiri pembicaraan.[ Red/Akt-13/Munir Achmad ]

 

 

Aktual News

Foto :

Taman Makam Tentara-Tentara Sekutu (Korban PD II) di Kapaha Ambon.

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.