Maluku, Aktual News–Apa yang terungkap selama persidangan di Pengadilan adalah fakta hukum, kata pakar pidana Prof. Abdul Fickar Hadjar, maka dengan demikian, fakta yang tertera dalam putusan hakim tentang sesuatu tindak pidana, misalnya mengenai peran yang memperlihatkan terlibatnya seseorang lain atau juga suatu peristiwa atau perbuatan lain yang saling berhubungan, apalagi bilamana putusannya sudah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), mestinya segera ditindak lanjuti oleh Penyelidik atau Penyidik Berwenang.
Sebaliknya bila ternyata ada fakta yang menampilkan indikasi keterlibatan seseorang lain atau suatu peristiwa yang saling berhubungan tetapi dibiarkan begitu saja tanpa sesuatu follow up, apalagi dalam waktu yang menurut kalkulasi rasional sudah terlalu lama tanpa ada penjelasan tentang apa alasannya, tentu tidak ada salahnya bila orang bertanya-tanya. Bahkan orang-orang mungkin tidak sekedar mempertanyakan apa alasannya melainkan juga konsistensi pimpinan instansi yang berwenang beserta jajarannya.
Sebagaimana yang terjadi di KPK RI, terkait salah satu pemberian gratifikasi terhadap terpidana Yaya Purnomo, mantan pejabat pada Kementerian Keuangan RI di Jln Lapangan Banteng Jakarta Pusat yang justru putusannya sudah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan oleh karena itu penahanannya selaku terpidana telah dimutasikan oleh Jaksa KPK RI ke Lapas Sukamiskin di Bandung dari Jakarta hari Rabu 13 Maret 2019 lalu.
Sudah cukup lama sehingga sempat terlupakan, mendadak dibuat kaget ketika dipertanyakan oleh seorang lelaki yang mengaku “Sinyo Ambon” (= lelaki belia asal Ambon/Maluku) bernama Billy dan suka disapa “Billy” tinggalnya di seputaran Kebun Jeruk Jakarta Barat, ketika bertemu media ini beberapa hari lalu. Sambil mengulurkan tinju untuk berjabat “ala protokol covid” diiringi dengan pengenalan diri dan menyebut alamat kediamannya, Billy langsung mengajukan pertanyaan berangkai laksana rentetan rangkaian petasan : “Bung …….., ale (=kamu) wartawan media Jakarta yang dolo (= dahulu) paling sering muat berita mengenai uang suap dari SBT (= Kabupaten Seram Bagian Timur di Maluku) kepada pejabat Kementerian Keuangan itu kan ? Kasusnya sudah begini lama koq tidak ada tindaklanjutnya malah kelihatan sudah tenggelam padahal saat baca putusan di PN itu Hakim jelas-jelas menyebutkan setoran uang suap dari daerah-daerah antara lain tiga ratus lima puluh juta rupiah dari SBT. Jangan biarkan uang negara atau daerah dirampok dengan cara-cara tidak beradab begitu, Bung …….., harus dikejar terus dan jang kaburu lala (= jangan keburu lelah), sebab setiap rupiah itu harus dibelanjakan untuk kepentingan rakyat bukan sarana memperkaya diri bagi pejabat-pejabat yang tidak bermoral dengan kroni-kroninya”.
Dia sempat juga mempertanyakan, kira-kira ada hal sesuatu apa atau seseorang siapa sehingga sudah sekian lama kasus ini mengendap begitu saja, padahal setoran suap Rp 350 juta itu sudah merupakan fakta hukum yang disebutkan secara tegas di dalam putusan.
Benar juga ocehan Billy. Setidaknya, media ini entah berapa kali memuat berita mengenai kasus itu beberapa edisi, lebih spesifik lagi mengenai peran “Tanjung”, pemilik perusahaan kontraktor yang saat itu disebut-sebut sebagai “orang kepercayaan atau orang dekatnya Bupati SBT, Abdul Mukti Keliobas”. Pejabat Kemenkeu yang dimaksudkan Billy itu tak lain adalah Yaya Purnomo (YP), yang saat dibekuk oleh Tim KPK dalam OTT sedang menjabat sebagai salah satu Kepala Seksi.
Salah satu berita memuat pendapat “Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Jakarta, Prof Abdul Fickar Hadjar” (Baca Berita : “Putusan Adalah Fakta Hukum, Terkait DAK SBT 2017 Tanjung Dkk Harus Segera Di-TSK-kan”, edisi 1 Maret 2019), antara lain sebagaimana pada alinea ke-5 disebut : “kalau sudah ada yang dihukum maka tindakan apa pun yang dilakukan oleh orang yang disebut dalam dakwaan mau pun putusan tinggal menindaklanjuti penyidikan terhadap orang baru yang belum disidik, antara lain dalam hal ini Sugeng alias Tanjung harus segera diperiksa, karena sudah ada backup putusan, backup bukti”.
Kelanjutan kasus ini tentang setoran suap Rp 350 juta dari SBT yang menurut Billy disebut dalam putusan Hakim terhadap YP dahulu sebenarnya sudah pernah dimintai konfirmasinya oleh media ini dari Febridiansyah melalui aplikasi WhatsApp ketika dia masih menjabat Juru Bicara KPK di Gedung Merah Putih, namun sampai dengan pengunduran dirinya pesan itu tidak pernah dibalas, mungkin saja ada “bottle neck” yang menghambat saluran informasi kasus ini, wallahu’alam bissawab.
Menurut Billy, sebagai bagian dari “anak negeri” dia merasa sangat prihatin menyaksikan kasus ini dibiarkan begitu saja terus mengendap. Bukan gara-gara ada orang-orang yang diuntungkan dengan diendapkannya kasus ini, tukasnya, melainkan lebih pada efeknya terhadap penerapan hukum secara makro terutama di tanah kelahirannya, Maluku.
Akan ada seribu-satu pertanyaan pada khalayak terutama para aktivis anti-korupsi di Maluku, yang ujung-ujungnya justru merusak citra dan wibawa kelembagaan KPK sendiri, apalagi suap itu disebut secara eksplisit di dalam putusan Hakim, ditambah pula putusannya sudah berkekuatan hukum tetap malah sudah dieksekusi.
Orang akan mempertanyakan, katanya tandas, apakah Tanjung beserta nama orang-orang yang disebut dalam kasus itu “memiliki semacam kekebalan hukum” sehingga enggan disentuh malah sampai dengan Pimpinan KPK RI di Jakarta, apakah ada “sistem pilih kasih atau pilih bulu” dalam penerapan hukum di KPK RI, dan tentu masih banyak lagi.
Aneka ragam pertanyaan ini lambat laun secara perlahan-lahan tetapi pasti akan memerosotkan kepercayaan publik terhadap akses hukum dan fungsi hukum di negeri ini dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Bahkan, tukasnya lagi, tidak mustahil bila orang kelak merangkai praduga, jangan-jangan oknom-oknom internal KPK yang menangani kasus ini sudah menerima setoran pula sehingga kasus ini diam-diam dibiarkan mengendap atau bahkan mungkin berkasnya sudah masuk ruang arsip saja. Ini menurut dia tidak ada salahnya, apalagi belum lama ini ada Penyidik KPK, Stefanus Robin Pattuju, yang diciduk gara-gara terlibat kasus jual-beli jabatan tahun 2019 di Pem-Kot Tanjung Balai yang melibatkan Walikota M. Syahrial bersama Sekda Yusmada.
Oleh karena itu, menurut dia, agar agar jangan sampai memicu timbulnya tafsir-tafsir sumbang yang merusak citra dan wibawa hukum serta marwah kelembagaan KPK lebih khusus bagi khalayak umum di daerah Maluku, maka Pimpinan KPK, Firli Bahuri Dkk., harus memerintahkan Penyidik berwenang segera menetapkan “Tanjung sebagai tersangka” kemudian ditangkap dan ditahan. Selanjutnya, beberapa nama lain yang ikut disebut-sebut terlibat segera pula diusut dan ditetapkan pula statusnya, dengan catatan bila sudah cukup bukti harus segera pula ditangkap dan ditahan, hingga pada akhirnya sama-sama diperhadapkan di muka Hakim untuk mempertanggung jawabkan perbuatan masing-masing demi hukum. [Red/Akt-13/Munir Achmad ]
Aktual News
Posting Komentar