Dukung BOP Wakatobi, Praktisi Hukum Ibukota Himbau Clearkan Hak2 Tanah Warga
Foto : SORAYA, beberapa waktu lalu di ruang Bareskrim Polri Jln Trunojoyo No. 3 Jakarta Selatan.
Maluku, AktualNews-Gonjang-ganjing tentang akan segera dibukanya Badan Otorita Pariwisata (BOP) di Kabupaten Kepulauan Wakatobi Sulawesi Tenggara sudah berlangsung sejak lama, bahkan dengan intonasi pemberitaan yang menggebu-gebu.
Sejak jelang 5 (lima) tahun lalu ebuah berita dalam situs website Kementerian Koordinasi bidang Kemaritiman dan Investasi di Jln M.H. Thamrin No. 8 Jakarta Pusat (Berita : “Kemenko Maritim Kebut R PerPres Badan Otorita Pariwisata Wakatobi” edisi Selasa 5 September 2017) memberitakan keterangan Asisten Deputi bidang Jasa Kemaritiman Kemenko Marinves, Okto Irianto, menjelaskan tentang Rancangan Peraturan Presiden mengenai BOP Wakatobi dengan mengatakan : “Draft sudah kita buat, tapi belum 100 persen selesai. Kita sudah koordinasi dengan Kementerian / Lembaga terkait isinya sudah hampir rampung, hanya ada lampiran yang berkaitan dengan lahan”.
Lampau setahun setelah itu, ketika ditanyakan Minggu 11 November 2018 pada Harianto, As-Dep Strategi dan Komunikasi Pemasaran l pada Deputi bidang Pengembangan Pemasaran l Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dikatakan : “BOP Wakatobi hampir final karena pepresnya sudah di meja Setkab, artinya sudah dibahas di lintas sektoral, sudah selesai urusan draft-nya, inventarisir masalahnya dan ini sudah clear”.
Tetapi sampai sekarang belum diketahui jelasnya kira-kira sudah sampai sejauh mana langkah pemerintah Presiden Jokowi.
Padahal tentang lahannya, sejak tahun 2018 itu, ketika daerah kepulauan dengan tebaran pulau-pulau yang penuh pesona ini masih dipimpin Bupati sebelumnya, Ir. Hugua, konon sudah dipersiapkan kawasan seluas 1.000 hektar.
Sehubungan penyiapan kawasan menyambut dibentuknya Badan Otorita Pariwisata (BOP) di Wakatobi Sulawesi Tenggara, Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam hal ini Bupati H. Arhawi, SE dihimbau agar buru-buru mengkoordinasikan penyelesaian hubungan hukum antara tanahnya dengan para pemilik bilamana sebelumnya terdapat hak-hak warga entah hak-hak perorangan (individual) atau pun hak-hak komunal semisal hak ulayat dan lain-lain.
Ini penting maka oleh karena itu harus dijadikan prioritas sebelum lahannya diserahkan kepada Pemerintah untuk ditetapkan sebagai “kawasan Otorita”.
Kebalikan dari pada itu, pemerintah Pusat terutama Kementerian Kemaritiman dan Investasi bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif diharapkan tidak asal menerima saja kesediaan atau jaminan penyediaan tanahnya oleh Pemerintah Kabupaten Wakatobi melainkan lebih dahulu melakukan telaahan yang saksama bagaimana kira-kira status hukumnya, apakah sudah ‘clear and clean’ dalam arti tidak ada lagi hubungan hukumnya dengan siapa-siapa.
DPRD Kabupaten Wakatobi selaku cerminan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan hendaknya proaktif melakukan fungsi pengawasannya dalam persoalan ini, jangan sampai setelah ditetapkan sebagai lokasi atau kawasan BOP misalnya dengan suatu produk perundang-undangan apakah Peraturan Presiden atau apa pun namanya, ternyata masih menyisakan remah-remah masalah gara-gara belum diakhirinya hubungan hukum dengan pemilik atau ahli warisnya.
Pendapat tentang perlunya mendahulukan penyelesaian hak-hak tanah milik warga Wakatobi ini dilontarkan oleh Praktisi Hukum ibukota, Soraya Dharmawaty Francis, mengomentari ide Pembentukan BOP Wakatobi oleh Pemerintah Pusat cq Kementerian Parekraf dibawah koordinasi Kementerian Koordinasi bidang Kemaritiman dan Investasi.
Dimintai komentarnya saat ditemui media ini ketika akan memasuki Gedung PBNU di Jln Kramat Raya No. 164 Jakarta Pusat, sore hari Kamis (10/2) lalu, Soraya mengatakan : “Yang namanya program Pemerintah, entah gagasan pemerintah pusat di Jakarta atau pun Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota di daerah-daerah semuanya tentu saja bertujuan baik. Sama halnya dengan gagasan BOP Wakatobi tentu tujuannya agar memberikan nilai tambah bagi masyarakat mau pun bagi daerah oleh karena itu perlu kita beri dukungan. Hanya dari sejumlah pengalaman praktis, saya berharap sebelum diterbitkannya produk hukum tentang Penetapan BOP tersebut beserta kawasannya, status kepemilikan tanah harus diclearkan lebih dahulu. Setidak-tidaknya, harus dapat dibuktikan bahwa tidak ada lagi hubungan hukum tanah itu dengan siapa-siapa saja yang kelak di kemudian hari malah balik menjadi pemicu timbulnya konflik”.
Praktisi hukum wanita berdarah campuran dari ayahnya Saparua Maluku Tengah–Kisar Maluku Barat Daya (MBD) dengan ibu Sub-Etnis Sampolawa-Papalia di Buton Sulawesi Tenggara ini berharap, jangan sampai di kemudian hari dalam rangka implementasi pengembangannya justru memicu timbulnya konflik gara-gara status tanahnya tidak lebih dahulu diclearkan oleh Pemerintah.
Soraya, yang juga alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini menyinggung beberapa kasus yang sampai sekarang masih menyeruak gara-gara status kepemilikan tanahnya oleh warga lokal atau pemilik lahan dirasakan belum selesai atau dengan kata lain masih “bermasalah”, baik dengan negara cq pemerintah dan pemerintah daerah mau pun dengan perusahaan BUMN dan Swasta, antara lain : sengketa kepemilikan lahan lokasi Bandara Emalamo di Sanana Maluku Utara, lahan lokasi penambangan PT Adidaya Tangguh di Pulau Taliabu Maluku Utara, lahan lokasi penambangan PT Batutua Tembaga Raya di Pulau Wetar Maluku Barat Daya hingga lahan kosong milik almarhum Anang Dkk yang diterbitkan hak atas nama orang lain dan sementara dikuasai perusahaan pelat merah PT Kawasan Berikat Nusantara (Persero) atau PT KBN di Jln Raya Marunda Cilincing Jakarta Utara.
Dia mengaku dirinya dilibatkan juga sebagai bagian dari “Tim Hukum” yang dipercayakan oleh para Pemilik Lahan untuk membantu menengahi kemelut kasus-kasus ini sehingga tahu secara jelas bagaimana duduk perkaranya satu demi satu, maka oleh karena itu perlu dikemukakannya secara gamblang sebagai sampel kasus agar dijadikan cerminan bagi para pembuat pebijakan biar di kemudian hari jangan sampai menimpa warga lokal di Kabupaten Kepulauan Wakatobi.
Mungkin saja ada hak-hak komunal yang lazim disebut “ulayat”, urainya menambahkan, atau bisa juga hak-hak perorangan (individual), semuanya ini harus dibebaskan atau diselesaikan dengan masing-masing pemilik, diakhiri hubungan hukumnya sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku agar jangan nanti di kemudian hari bukan memberikan manfaat melainkan balik membawa mudharat gara-gara menjadi pemicu nelangsa bagi warga lokal di kemudian hari seperti yang terjadi di daerah-daerah lain.
Kaitan dengan status tanahnya ini, tambah dia, Badan Pertanahan Nasional (BPN), selaku leading sektor hendaknya berlaku bijak dan ekstra hati-hati, jangan buru-buru mengklaim sesuatu tanah sebagai “tanah negara” seakan-akan statusnya bebas dari sesuatu hak dan tergolong sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara padahal ternyata tanah itu telah dilekati sesuatu hak, begitu pula warga lokal hendaknya jangan dikorbankan oleh para Pembuat Kebijakan seakan-akan harus tunduk dan patuh karena ini bertujuan untuk “kepentingan umum”.
Hal paling penting yang patut diingat oleh para pembuat kebijakan, tukasnya buru-buru mengakhiri pembicaraan, meski pun harus memakai mekanisme “pencabutan hak atas tanah” misalnya gara-gara urgensi lahannya untuk sesuatu agenda pembangunan tetapi sulit dicapai kata sepakat, namun menurut perintah undang-undang, tanah itu harus dibayarkan ganti-rugi yang layak. [ Red/Akt-13/Munir Achmad ]
AktualNews